Moeslim Abdurrahman
sumber :http://www.sd-annizam.com |
Itulah hebatnya sebuah dongeng suci.
Seolah-olah peristiwanya tidak pernah usai dan maknanya selalu hidup karena
ditafsirkan sepanjang masa. Agama boleh dibilang selalu dianggap dogmatik.
Namun, para pengikutnya akan selalu menimba dari sumur wahyu tersebut, baik air
kehidupan, air kebijakan, maupun mata air kebajikan bagi sesamanya.
Menyembelih binatang kurban adalah laku
ritual simbolik. Sama halnya berpakaian ihram waktu melaksanakan haji atau
bertenda sejenak dalam puncak ibadah haji itu di Arafah. Semua ini terserah
sedalam apa hendak memaknai dan mengambil hikmah darinya. Sebab, boleh jadi
seseorang menjalankan ritual, tetapi yang dipentingkan barulah syarat dan
rukunnya; tanpa tafsiran dan tanpa penghayatan substantif, yakni pesan
moralitas dan spiritual sebagai tujuan pokok dari ibadah yang kita laksanakan.
Semarak kesalehan
ritual
Saya sengaja mengawali dengan menegaskan
pernyataan tersebut (dan lebih dari sekadar prihatin) sebab dalam keseharian
ibadah kita memang kadang-kadang tampak paradoks, kalau tidak disebut
membingungkan.
Pasalnya, apalagi kalau bukan
kecenderungan keberagamaan, yang di satu segi bangsa ini di mana-mana semakin
saleh dengan semaraknya ritual. Sementara itu, susah ditolak bahwa kita telah
kehilangan sendi-sendi kebajikan sosial yang sangat ditekankan oleh agama.
Rasa permusuhan telah menyelimuti masyarakat. Agama seperti telah kehilangan daya pesannya untuk
menghadang terkeping-kepingnya umat kita jatuh dalam sektarianistik, yang
meruntuhkan rasa kasih sayang bagi sesama. Biarpun orang menyembelih binatang
kurban, bahkan boleh dikatakan tidak surut jumlahnya, di balik gejala yang
menggembirakan ini, rasa pengorbanan yang selama ini menjadi penyangga solidaritas
sosial seolah-olah semakin hilang dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tradisi menyembelih binatang kurban
menjadi jauh maknanya dari moralitas ”pengorbanan”. Begitu pula banyaknya orang
antre pergi bersujud di rumah Allah dengan berpakaian ihram bukan serta-merta
merupakan perlambang kesadaran bahwa ideologi kesetaraan sosial adalah
cita-cita kemanusiaan yang paling tinggi yang harus diperjuangkan bersama
sebagai ciri haji mabrur.
Kalau diresapi, dongeng Mina—yaitu saat
Nabi Ibrahim AS bersedia menyembelih anak kesayangannya tersebut—sesungguhnya
bukanlah semata-mata ujian tentang keimanan. Namun, memang, bermula dari
keimanan itulah kisah ini mengajarkan perlunya pengorbanan, perlunya berbagi
dalam kehidupan ini.
Tuhan tidak membutuhkan sembelihan,
tetapi keimanan vertikal akan hampa tanpa pengorbanan. Tuhan, melalui kisah
ini, seolah-olah mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kualitas iman
karena penciptaannya yang sempurna. Namun, tidak setiap manusia bisa menemukan
makna iman itu, tanpa pengorbanan, tanpa kepedulian dari orang lain. Itu karena
pada dasarnya setiap orang bukanlah sosok personal yang berdiri sendiri.
Dalam kehidupan ini, selalu ada ”mereka”
yang membutuhkan sapaan dan bahkan tanggung jawab kita. Saya kira inilah
prinsip dasar moralitas kesalehan yang manusiawi, yang universal, yang dapat
dijadikan sebagai pilar kehidupan bersama.
Kesalehan sosial
Keimanan, kesalehan, dan tanggung jawab
sosial, barangkali inilah nilai martabat yang paling tinggi. Namun, dalam dunia
yang berubah materialistik sekarang ini, mempunyai martabat semacam itu
tidaklah semudah mendengarkan khotbah.
Tantangan terberat tatkala tatanan etika
dan moral menjadi kabur, bahkan tumpang tindih.
Sungguh ironis, misalnya, jika seseorang
akhirnya tidak merasa berdosa—bahkan merasa lebih banyak pahala—kalau telah
banyak bersedekah biarpun sedekah mereka berasal dari uang korupsi.
Dilihat dari sudut ini, pesan agama
seharusnya tidak cukup hanya menganjurkan, mendorong, atau menjanjikan surga
bagi mereka yang gemar menyisihkan kekayaannya untuk bersedekah. Atau bagi yang
lebih banyak menjamu anak yatim atau agar setiap tahun menyembelih binatang
kurban. Lebih dari itu, agama harus berani berbicara hubungan antara kesucian
diri, kesalehan, dan keadilan menjadi jelas kaitannya.
Dalam hal ini, misalnya hanya mau
membincangkan dan menuntun bagaimana caranya orang menjadi saleh, tanpa
mengingatkan bahwa kesalehan seseorang akan batal di depan Allah SWT jika
biayanya diperoleh dari cara-cara yang tidak halal, apalagi merugikan orang
lain.
Dongeng Mina setiap tahun memang harus
kita kenang. Kita peringati dengan menyembelih binatang kurban. Makna di balik peristiwa itu pun memang harus kita gali sedalam-dalamnya.
Bisakah makna kesetiaan dan pengorbanan
Nabi Ibrahim AS tersebut kita tuturkan kembali di depan realitas kehidupan
bangsa ini dan menjadi inspirasi perubahan? Jawabannya tentu adalah tergantung
dari kita sendiri. Sebab, setiap dongeng sesungguhnya tidak berbicara tentang
kisahnya sendiri.
Di sana ada horizon makna, ada
perspektif yang tak bertepi, dan juga ada kekuatan profetik yang bisa
diproduksi dalam zaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, jika kita mau
menuturkan kembali dongeng Mina sebagai ide perubahan, sudah tentu tidak
sia-sialah Nabi Ibrahim AS telah mewariskan kisah ini. Sebab, kisah ini tidak
hanya menjadi tradisi, tetapi akan memberikan inspirasi peradaban, yakni betapa
pentingnya nilai berbagi dan berkorban dalam kehidupan ini.
Moeslim Abdurrahman
Cendekiawan Muslim; Ketua Al-Maun Institute, Jakarta
(sumber : kompas.com, Sabtu, 5 November 2011 | 01:45 WIB )