Total Pageviews

Tuesday, 15 September 2015

Di Balik Dongeng Mina


Moeslim Abdurrahman
sumber :http://www.sd-annizam.com
Kisah Nabi Ibrahim AS menyembelih anak kesayangannya memang bukanlah dongeng biasa. Oleh karena itu, bersamaan dengan penyelenggaraan shalat Idul Adha, peristiwa itu selalu diperingati dengan menyembelih binatang kurban, baik oleh mereka yang sedang berhaji maupun yang tidak pergi melaksanakan jumrah di sana.
Itulah hebatnya sebuah dongeng suci. Seolah-olah peristiwanya tidak pernah usai dan maknanya selalu hidup karena ditafsirkan sepanjang masa. Agama boleh dibilang selalu dianggap dogmatik. Namun, para pengikutnya akan selalu menimba dari sumur wahyu tersebut, baik air kehidupan, air kebijakan, maupun mata air kebajikan bagi sesamanya.
Menyembelih binatang kurban adalah laku ritual simbolik. Sama halnya berpakaian ihram waktu melaksanakan haji atau bertenda sejenak dalam puncak ibadah haji itu di Arafah. Semua ini terserah sedalam apa hendak memaknai dan mengambil hikmah darinya. Sebab, boleh jadi seseorang menjalankan ritual, tetapi yang dipentingkan barulah syarat dan rukunnya; tanpa tafsiran dan tanpa penghayatan substantif, yakni pesan moralitas dan spiritual sebagai tujuan pokok dari ibadah yang kita laksanakan.
Semarak kesalehan ritual
Saya sengaja mengawali dengan menegaskan pernyataan tersebut (dan lebih dari sekadar prihatin) sebab dalam keseharian ibadah kita memang kadang-kadang tampak paradoks, kalau tidak disebut membingungkan.
Pasalnya, apalagi kalau bukan kecenderungan keberagamaan, yang di satu segi bangsa ini di mana-mana semakin saleh dengan semaraknya ritual. Sementara itu, susah ditolak bahwa kita telah kehilangan sendi-sendi kebajikan sosial yang sangat ditekankan oleh agama.
Rasa permusuhan telah menyelimuti masyarakat. Agama seperti telah kehilangan daya pesannya untuk menghadang terkeping-kepingnya umat kita jatuh dalam sektarianistik, yang meruntuhkan rasa kasih sayang bagi sesama. Biarpun orang menyembelih binatang kurban, bahkan boleh dikatakan tidak surut jumlahnya, di balik gejala yang menggembirakan ini, rasa pengorbanan yang selama ini menjadi penyangga solidaritas sosial seolah-olah semakin hilang dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tradisi menyembelih binatang kurban menjadi jauh maknanya dari moralitas ”pengorbanan”. Begitu pula banyaknya orang antre pergi bersujud di rumah Allah dengan berpakaian ihram bukan serta-merta merupakan perlambang kesadaran bahwa ideologi kesetaraan sosial adalah cita-cita kemanusiaan yang paling tinggi yang harus diperjuangkan bersama sebagai ciri haji mabrur.
Kalau diresapi, dongeng Mina—yaitu saat Nabi Ibrahim AS bersedia menyembelih anak kesayangannya tersebut—sesungguhnya bukanlah semata-mata ujian tentang keimanan. Namun, memang, bermula dari keimanan itulah kisah ini mengajarkan perlunya pengorbanan, perlunya berbagi dalam kehidupan ini.
Tuhan tidak membutuhkan sembelihan, tetapi keimanan vertikal akan hampa tanpa pengorbanan. Tuhan, melalui kisah ini, seolah-olah mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kualitas iman karena penciptaannya yang sempurna. Namun, tidak setiap manusia bisa menemukan makna iman itu, tanpa pengorbanan, tanpa kepedulian dari orang lain. Itu karena pada dasarnya setiap orang bukanlah sosok personal yang berdiri sendiri.
Dalam kehidupan ini, selalu ada ”mereka” yang membutuhkan sapaan dan bahkan tanggung jawab kita. Saya kira inilah prinsip dasar moralitas kesalehan yang manusiawi, yang universal, yang dapat dijadikan sebagai pilar kehidupan bersama.
Kesalehan sosial
Keimanan, kesalehan, dan tanggung jawab sosial, barangkali inilah nilai martabat yang paling tinggi. Namun, dalam dunia yang berubah materialistik sekarang ini, mempunyai martabat semacam itu tidaklah semudah mendengarkan khotbah.
Tantangan terberat tatkala tatanan etika dan moral menjadi kabur, bahkan tumpang tindih.
Sungguh ironis, misalnya, jika seseorang akhirnya tidak merasa berdosa—bahkan merasa lebih banyak pahala—kalau telah banyak bersedekah biarpun sedekah mereka berasal dari uang korupsi.
Dilihat dari sudut ini, pesan agama seharusnya tidak cukup hanya menganjurkan, mendorong, atau menjanjikan surga bagi mereka yang gemar menyisihkan kekayaannya untuk bersedekah. Atau bagi yang lebih banyak menjamu anak yatim atau agar setiap tahun menyembelih binatang kurban. Lebih dari itu, agama harus berani berbicara hubungan antara kesucian diri, kesalehan, dan keadilan menjadi jelas kaitannya.
Dalam hal ini, misalnya hanya mau membincangkan dan menuntun bagaimana caranya orang menjadi saleh, tanpa mengingatkan bahwa kesalehan seseorang akan batal di depan Allah SWT jika biayanya diperoleh dari cara-cara yang tidak halal, apalagi merugikan orang lain.
Dongeng Mina setiap tahun memang harus kita kenang. Kita peringati dengan menyembelih binatang kurban. Makna di balik peristiwa itu pun memang harus kita gali sedalam-dalamnya.
Bisakah makna kesetiaan dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS tersebut kita tuturkan kembali di depan realitas kehidupan bangsa ini dan menjadi inspirasi perubahan? Jawabannya tentu adalah tergantung dari kita sendiri. Sebab, setiap dongeng sesungguhnya tidak berbicara tentang kisahnya sendiri.
Di sana ada horizon makna, ada perspektif yang tak bertepi, dan juga ada kekuatan profetik yang bisa diproduksi dalam zaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, jika kita mau menuturkan kembali dongeng Mina sebagai ide perubahan, sudah tentu tidak sia-sialah Nabi Ibrahim AS telah mewariskan kisah ini. Sebab, kisah ini tidak hanya menjadi tradisi, tetapi akan memberikan inspirasi peradaban, yakni betapa pentingnya nilai berbagi dan berkorban dalam kehidupan ini.
Moeslim Abdurrahman Cendekiawan Muslim; Ketua Al-Maun Institute, Jakarta
(sumber : kompas.com, Sabtu, 5 November 2011 | 01:45 WIB )