Dari banyak tulisan ‘serius’
tentang kampanye anti maupun pro rokok/tembakau menjelang hari tanpa tembakau
sedunia- 31 Mei 2015, saya secara tak sengaja membaca lembaran koran lama
tertanggal 13 juli 2014. Dalam rubrik sambung rasa, koran Kedaulatan Rakyat
Yogyakarta tersebut, seorang yang bernama
Ir Widiastjarjo menyampaikan uneg-unegnya dengan logika sederhana yang
begitu menarik :
Logika dan Zat Pembunuh
“Merokok dapat menyebabkan
kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Iklan
ini lebih diseramkan lagi dengan ’merokok adalah membunuh’. Logisnya maka para
pabrik rokok adalah ‘kelompok pembunuh’. Kerjasama event olah raga dengan
pabrik rokok adalah bentuk ‘kejahatan’
karena bekerjasama dengan ‘kelompok pembunuh’ dan ‘kelompok penyebab’ diatas.
Perokok aktif adalah ‘kelompok
bunuh diri’ sedangkan perokok pasif yang berada di daerah boleh merokok(smoke area)
adalah kelompok pada daerah rawan pembunuhan. Maka pelanggaran sengaja atau
tidak terhadap iklan tersebut, apakah dapat masuk kategori ‘pembunuhan
berencana’ ataukah memang ada unsur kesengajaan membunuh.
Dalam logika keimanan kita,
Allah SWT menciptakan daun tembakau
sebgai bahan rokok, pasti ada maksud “manfaat” selain kemungkinan ‘jahat’
seperti tersebut diatas. Namun kita juga yakin Allah SWT akan memberikan yang
terbaik bagi umat-Nya. Adalah sebuah tantangan bagi ilmuwan akademisi, untuk
segera dan bersegeralah menguak rahasia Allah SWT terhadap nikotin tembakau.
Jika hasilnya positif dapat mengeliminir atau meminimalisir dampak negatif
‘bunuh-membunuh’, maka diseyogiakan iklan tersebut diubah redaksinya, istilah
rokok menjadi nikotin tembakau, agar tidak bersangkut paut dengan KUHP.
Bagaimana opini komunitas BPOM
dan yayasan konsumen serta para ilmuwan dan yustisi?. Kita masyarakat tembakau
Indonesia berharap solusi terhadap nikotin tembakau tidak kelamaan.
***
Masuk akal juga, yang disebut
Ir Widiastjarjo, bahwa Allah SWT menciptakan sesuatu pasti ada manfaatnya.
Jadi, sebenarnya apa penyebab ngotot-nya
kampanye anti tembakau untuk segera ‘menghabisi’ tembakau : “Tembakau dapat Membunuh, jangan
terkecoh” (2000) dan “Tobacco: mematikan dalam berbagai wujudnya” (2006), Olah raga dan Seni tanpa tembakau (1993),Film bebas
dari tembakau, Fashion bebas dari tembakau ( 2003), dan masih banyak lagi. *
Saya tidak tahu, apakah Ir
Widiastjarjo sudah mendapatkan jawaban atas uneg-unegnya diatas, tetapi
setidaknya pernyataan Harvey Brenner
sebagaimana dikutip Rhenald Kasali
berikut memberi gambaran sebuah kondisi akibat ‘pembunuhan tembakau’: “membunuh tembakau dengan segala industrinya
di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka
pengangguran rakyat Indonesia. Dan setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan
kematian naik jadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7
tahun”.
(Kompas, 1/12/08)
Jadi, permasalahnnya bukan terletak pada apakah kita anti
atau pro rokok( tembakau), tetapi permasalahannya terletak pada sikap obyektif
dan proporsional dalam memandang sebuah persoalan. Sebab meminjam istilah filsuf perempuan Simone de Beauvoir, “personal
is political” atau “yang personal adalah politis”, maka keputusan yang
personal sifatnya dapat mengubah realitas yang luas dalam masyarakat. So, think
before act.
*tema WHO
dalam Hari Tanpa Tembakau (wikipedia)
baca juga :
cak nun : jangan terlalu menganiaya rokokWorld No Tobacco Day: Kenapa Memusuhi Tembakau?